Setiap hari kita hampir tak bisa lepas perkara
tuding-menuding orang lain yang tidak melaksanakan ibadah dianggap busuk,
sedangkan diri sendiri merasa baik karena tidak seperti orang yang
dituding. Di bulan suci; ramadan pun tak bisa lepas pula dari hal ini. Tidakkah
sangat irene (jangan diklik), eh ironi sekali?.
Saya akan sedikit bercerita
terkait hal ini, dan ceritanya tidaklah benar-benar lucu. Yang terpenting
sampean mau membacanya. Soal status riwayat ceritanya apakah sahih, daif, atau mardud? Halah byah!
Baik, sebelum saya memulai ceritanya
saya awali dengan ijazah riwayat sanad sumber. Cerita tidak lucu ini
diriwayatkan oleh saya, terinspirasi dari fakta kejadian di sekeliling kita,
dan saya ijazahkan kepada pembaca lalu ke pendengar, lanjut dari pembaca ke
pendengar yang lain sampai akhir...
Bila suatu saat ada yang
menemukan cerita ini di-posting di jejaring sosial, blog, dll tanpa penyebutan
sumber riwayatnya. Tolong, salamkan kepadanya bahwa sebaik-baiknya seorang rawi
(pencerita) adalah perawi yang bersambung status riwayatnya. Agar terhindar
dari hoax-hoax serta fake news yang merusak pola pikir kita.
Cerita ini saya tulis sebagai
tanggapan terhadap pola tuding-menuding merasa lebih baik, lebih mukmin
daripada saudara seiman yang lain.
Ingat, cerita ini tidak lucu. Saya
harap dibaca dengan cermat dan serius karena setiap dialognya sarat makna.
***
Cerita (fiksi) dimulai...
Selepas salat tarawih para remaja
kampung yang hendak bertadarus memilih duduk selonjoran di pinggir pintu masjid. Mereka bergerombol sembari curi-curi pandang menyaksikan mbak-mbak muslimah bergantian menyerahkan suguhan makanan ke pengurus takmir. Suguhan itu
disediakan untuk pelaksana tadarus, anggap saja sebagai camilan. Pak Sami’an selaku bilal tersyahdu, tersenyum menyaksikan tingkah mereka.
Pandangan para remaja itu kian
menajam, mengarah ke satu nampan berisi gorengan ote-ote, tahu isi, dan telo
goreng yang masih hangat. Uap panasnya tampak mengepul. Tak luput petis atau
saus hitam di wadah mangkok serta lombok alit, rasa pedasnya sangat menyakinkan.
Sangat cocok dengan pepatah jawa, “Cilik, tapi pedes, yo lombok. Geddhe, nek
anyep, yo lontong”.
Ya, gorengan itulah yang mereka nanti-nantikan.
Ketika para remaja itu hendak
beranjak menuju ke arah mikrofon, tiba-tiba salah satu di antara mereka sebut
saja Memed, berceloteh...
“Untung tidak ada Gemblung”
Gemblung salah satu komplotan
mereka yang terkenal doyan makan, serta ahli dalam urusan meniadakan makanan
dan minuman mubadzir di masjid.
Celoteh Memed tampak menarik
untuk dibicarakan, akhirnya mereka urung menuju mikrofon. Kembali duduk selonjoran
dan membicarakan tentang kawannya yang doyan makan. Ketepatan waktu itu Gemblung
tidak hadir melaksanakan jamaah salat isya dan tarawih.
Setelah agak lama mereka asyik tertawa
terkekeh-kekeh sebab membicarakan aib-aib Gemblung. Tiba-tiba Gemblung datang,
perutnya buncit hingga membuat lipatan sarungnya terpasang mlorot, peci hitam kecil
di kepalanya miring tampak seperti secuil cincau yang tak sengaja lengkep di bagian
pinggir gelas jumbo.
Kawan-kawannya yang duduk di
pintu masjid telah memasang rencana, mereka tak hanya berniat menegur Gemblung.
Paling tidak ia akan dipermalukan di depan para pengurus masjid.
Memed menyambut Gemblung dengan
pertanyaan.
"Blung, siapa nama imam waktu isya' tadi?"
Nafasnyaa agak terengah-engah,
Gemblung duduk di dekat mereka. Ia sadar kawan-kawannya pasti telah merencanakan
sesuatu yang licik.
Dengan berwajah tak berdosa Gemblung
mingkem, lalu menoleh dengan mulut yang dibuka pelan-pelan diarahkan ke
kawan-kawannya. Keluarlah sendawa susulan pasca berbuka dengan bau yang tak
bisa dijelaskan secara profesional dalam etika kuliner, intinya lebih mirip
aroma sambal bajak yang diuleg dengan nasi basi.
“Jyancuk, bwuadeg emmen, Mblung! Coba
mettune mau sebelum maghrib pas sek keadaan poso, tak anggep wangi misik, berhubung maghribpe wes
lewat, misike entek berarti iki mambu batang.” Tukas Taqim mundur lima jengkal sembari menutup hidungnya.
Disusul ledak tawa kawan-kawannya.
“Piye Mblung? Siapa nama imamnya?”
Memed mengulang.
Gemblung jelas tak bisa menjawab
karena tidak hadir tadi, ia lebih memilih tidur selepas berbuka. Tahu-tahu saat
bangun pengeras suara di masjid mendengingkan doa salat tarawih. Ia bangun,
menuju ke dapur mengisi kekosongan sebelah di perutnya.
Gemblung tak mati akal, ia
berbalik tanya.
"Sek, sek, sopo jeneng muadzin
maghrib-pe?"
Untung saja salah satu di antara
mereka termasuk REMAS (remaja masjid), paling tidak ia pasti tahu nama Imam dan muadzin di hari-hari ke depan.
"Pak Sami'an!", jawab
kawannya.
"Salah!, kok ya soro emmen
gak erro muadzin maghrib. Kalau orang tidak tahu Imam masjid di waktu isya'
dikatakan tidak tarawih, berarti yang tidak tahu muadzin maghrib dikatakan
tidak berpuasa. Lebih duso koe kabeh!" Ketus Gemblung tertawa ngikik.
Kawan-kawannya pun terhenyak
sebagian tertawa sinis.
"Terus sopo muadzine, Mblung?" Timpal Memed.
Dengan wajah ala santai Kim Jong-un,
Gemblung menarik nafas lalu menjawab tegas,
"Radio!".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar