Sabtu, 09 November 2019

Menuju Blitar: Sebentar Tapi Berdebar

Sedari masih belajar di madrasah hingga sekarang setiap kali saya mendengar orang menyebut kota Blitar, di benak saya selalu muncul sosok mendiang Dr. Ir. H. Soekarno. Mungkin karena cuma itu yang tersisa di otak saya dari pelajaran IPS yang diajarkan di madrasah, setelah belasan tahun buku pelajarannya tak dibaca lagi. (Mau dibaca lagi bagaimana? Wong buku itu sudah jadi bungkus bawang jualannya mendiang nenek angkat saya di Pesapen belasan tahun silam.)

Sejujurnya saya tak pernah menyangka bakal mengunjungi kota Blitar, sebab selama ini perjalanan jauh atau kota-kota luar yang seringkali saya lewati hanya berletak di wilayah Tapal Kuda dan Pulau Madura.

Jauh hari saat mendengar kabar FLP Surabaya akan mengadakan rekreasi menulis ke kota Blitar, saya tertarik untuk ikut. Mengingat acara rekreasi menulis di tahun sebelumnya yang bertempat di Pasrepan Pasuruan, di kediaman Bunda Wina, momen itu menurut saya cukup berkesan. 

***

Bakda Ashar, menjelang keberangkatan rekreasi menulis menuju Stasiun Gubeng Baru Surabaya.

Semenjak aplikasi ojek daring (Gojek) muncul belasan tahun lalu, baru kali ini saya menggunakan -memesan- jasa antar goride-nya. Karena biasanya saya hanya menggunakan jasa antar makanannya saja.

Sewaktu di seperempat perjalanan saya tertarik untuk memulai obrolan dengan mas supir,

Saya : "Mas, sudah berapa lama bekerja jadi driver gojek?"
MS : "Alhamdulillah, sudah 4 tahunan, Mas."
Saya : "Wouh, sudah lama ya. Rumahnya di mana?"
MS : "Di daerah Keputih, Mas."
Saya : "Sudah berkeluarga?"
MS : "Sudah, anak sudah punya 2, Mas. Sampean?"
Saya : "Alhamdulillah... belum."
Dia tak bisa menyembunyikan tawanya di balik masker yang dikenakan. Tawannya lumayan nyaring. Menandakan dia betul-betul membagi perhatian fokusnya, menyetir sambil menjadi pendengar yang baik.
Saya : "Anaknya joko apa srikandi semua? Atau selang-seling?"
MS : "Srikandi semua, Mas. Yang pertama sudah SD. Yang ke dua  masih kecil. Oh iya, ngomong-ngomong sampean kok ndak ke stasiun Pasar Turi aja, kan lebih deket daripada ke Gubeng."
Saya : "Karena janjian kumpulnya dengan teman-teman di sana, Mas. Aku juga baru pertama kali mau naik kereta, ke Blitar, dan naik Gojek juga untuk pertama kalinya."

Obrolan kita lumayan panjang dan cair, saya juga sempat menanyakan informasi 'sensitif' antar hubungan sesama pekerja transportasi di kota. Dari cerita yang disampaikan oleh mas supir saya menarik simpulan bahwa mau sesempurna apapun kebijakan pemkot atau pemerintah tetap saja masuk telinga kanan keluar telinga di kepala orang-orang yang egosentris. Tapi setidaknya kebijakan itu telah menjadi salah satu ikhtiar untuk kemaslahatan masyarakat.

Saya : "Sampean, asli mana ya?"
MS : "Asli Rembang Jateng, Mas"
Rembang? Otomatis di pikiran saya muncul sosok seorang kiai teduh, lemah lembut yang sastrawan.
Saya : "Gus Mus?!"  
MS : "...sampean, santri ya?"

Saya tertawa. Arkian saya mencoba melunturkan tebakannya dengan sanggahan berupa pertanyaan-pertanyaan balik, di antaranya, "masak iya seorang santri penampilannya begini?" Harapan saya supaya ia ragu pada tebakannya, yang terjadi justru sebaliknya. Sehingga ia membuat saya sedikit bercerita tentang Gus Mus, FLP Surabaya, dan 'dunia santri'.
Sesampai di daerah Kedungdoro, keadaan jalanan agak regang, lalu laju kendaraan kami memelan dan agak menepi. Yang sedari awal perjalanan wajah mas supir fokus menghadap ke depan tiba-tiba menoleh 110 derajat ke arah kiri mengarah ke 2 orang di seberang jalan yang menjadi pusat perhatian. Saya mafhum, menahan diri untuk tidak tertawa.

Setelah hampir sampai di Stasiun, mas supir membuka pertanyaan...

MS : "Mas tadi lihat di depan Indomaret di daerah Kedungdoro?"
Saya : "Nggih..."
MS : "Mas kan santri ya. Kalau santri menter ya nek wadon ayu. Padahal aku tadi sampek menoleh miring lho. Rambutnya pirang. Wuaayu tenan lo iku."
Saya : "Waduh, sami menungso e, sami nggadah nafsu, Mas. Cuma bedanya sampean dengan saya tadi, saya pakek 'rem' sedangkan sampean 'remnya' blong. Sampean tadi liatnya sampek sirah sak mripate noleh, karo-karone miring. Nah, saya liat juga, cuma sirahku diam tapi mripatku menoleh miring juga. Jadi, ya samar."


Spontan kami terbahak-bahak di tengah jalan hingga tak terasa telah sampai di depan stasiun. 
Sewaktu mas supir hendak  lanjut undur diri pulang, saya masih mendengar lirih tawanya di balik masker yang ia kenakan dan kedua matanya menyipit, ketika saya memberi ujrah lit ta'ab (upah hasil kerja, lelahnya) dan berterima kasih (dengan bahasa kromo serta aksen medho' jawa), mas supir membalasnya dengan gelengan kepala sambil tertawa lalu berenjak pergi.

***

Sore, Stasiun Gubeng Baru.

"Ning Stasiun Gojekan... Kuto Blitar Seng Dadi Tujuan... Kito Mlaku-Mlakuuu... "

Demikian sabda lord Didi Kempot yang saya plesetkan sebagai pembuka. 

Pada momen ini saya baru kali pertama masuk ke dalam stasiun (dih, daritadi kok ngakunya pertama kali terus? Emang daridulu hidup di hutan ya?)  Lantaran setiap kali ke stasiun saya sekadar mengantar atau menjemput teman yang hendak bepergian atau pulang dari Surabaya. Ternyata suasana di dalam stasiun seperti ini ya, rasanya menjadi manusia yang memiliki ikatan dengan atmosfir dan mekanisme stasiun, menjadi bagian aktualisasi subjek, objek, dan predikat, menjadi faai'l ber-fi'il serta ber-maf'ul yang dilengkapi dengan dhorof, merealisasikan isim mashdar yang sebelumnya berupa fi'il mudhari' dan sesekali diawali dengan sin atau saufa hingga akhirnya kini bisa berubah menjadi fi'il maadhi. Ih, interpretasi saya berlebihan. Lebay ya? Mungkin ibarat anak kolot kampung dari pedalaman yang baru kali pertama menginjakkan kakinya di dalam minimarket di jalanan pantura. Pandangan mripat dan pikirannya berkerlap-kerlip.  

Rupanya di stasiun ada yang telah sampai lebih dulu sembari menunggu kedatangan yang lain. Frau Ratna, Mbak Sabili, dan Ustaz Salim Fillah eh Saif. Tak lama kemudian datang Bunda Aisya, Umi, Fat(i)h, Liebe Lidya (), lalu Thoriq (sempat menge-chat Fath, menanyakan posisi, kemudian dibalas dengan kiriman foto pohon di depan kami, "ndek duwur wit iki, Lur.")  dan yang datang paling akhir adalah Rose (tanpa Jack ). Sayangnya di momen tunggu-menunggu tersebut saya lupa pada tanggung jawab saya sebagai dokumenter. Rombongan kami pun terbagi dua. Mereka berangkat dari stasiun Wonokromo.

Hari mulai gelap, lirih panggilan untuk berbahagia menghadap Allah Jallaa Jalaaluh mulai terdengar. Sesuai saran Saif yang lebih paham mengenai fikih, kami memutushkan untuk menjamak ta'khir salat. Lalu beranjak menuju gerbong lokomonotif, sebelumnya kami sempat menunggu beberapa menit. Pada detik-detik kedatangan kereta saya berhasil merekamnya, mulus. Setelah saya cek rekamannya, dengan pengambilan gambar medium shot hasilnya seperti pembuka video azan maghrib di salah satu kanal televisi swasta. 

Ternyata rasanya naik kereta api tidak se-wah yang saya bayangkan. Sebelum keberangkatan saya sudah berespektasi panjang dan antusias sekali. Impresi saya, dibandingkan dengan pengalaman naik kapal fery di penyeberangan Surabaya-Pulau Madura dan naik bus dari Bungurasih ke luar kota, saya lebih menikmati keduanya. Salah satu faktor yang agak membuat saya kurang nyaman di pengalaman pertama ini, tempat duduk kami terpisah. Bunda Aisya duduk agak jauh dari saya, Mbak Sabili di kursi sebelah kanan bagian satunya, dan Thoriq sederet dengan saya, tepatnya di belakang saya. Ketika saya mengobrol dengan Thoriq dengan suara saling bersahutan tanpa tatap muka. Kami malah tampak seperti dua penghuni toilet yang sedang mengobrol dibatasi tembok, bedanya tidak ada gema, suara percik air, dan kami berdua tidak sambil mengenjan. 

Barulah sampai di stasiun Wonokromo saya duduk ditemani U'i, ia duduk tepat di depan saya. Rombongan satunya sudah menempati kursinya masing-masing. Di tengah perjalanan saya mencoba beradaptasi dengan keadaan. Memerhatikan teman duduk, interior, lalu lalang petugas, pemandangan gelap dan penjar lampu-lampu di jalanan. Grup whatshapp rombongan kami mulai ramai, satu sama lain saling menanyakan kabar, memastikan keadaan masing-masing. (Bersambung...)





Sabtu, 27 Oktober 2018

3 Syarat Kompetensi Menjadi Kiai

Di suatu kesempatan ngopi bersama teman² se-almamater. Kami sempat membanyol perihal peran Kiai, konon syarat jadi Kiai ada 3 kompetensi. Pertama: alim kitab turats, kedua: nyuwuk, dan terakhir: mbanyol (berkelakar/berhumor). 

Faktanya di antara kami ada yang memang tahu dan paham banyak ilmu² disiplin-katakanlah alim, faqiih watafaqquh fiddin, lalu salah satu di antara kami mengusulkan kepadanya supaya menjadi Kiai. Sebab ia telah mengantongi syarat pertama itu. Tapi ia menolak, "menjadi Kiai itu berat, tanggung jawab dunia-akhirat" tukasnya. Selanjutnya kami melirik pada teman yg suka tirakat, riyadhoh dzahiriah wa batiniah-nya Masya Allah. Andai kami memiliki hajat, menyelesaikan suatu permasalahan lalu memintanya untuk melakukan tirakat sbg pelantara terbukanya salah satu pintu kemudahan pasti ia akan melaksanakannya. Tirakat apapun, puasa? Selama apapun itu hal kecil baginya. Tidak meludah ke bumi? Ia juga siap, asalkan kami selalu berada di dekatnya selama 24 jam, siap mewadahi ludahnya di kresek. Namun ia menolak juga sebelum kami mengkadidatnya dengan alasan, "Jelas kentara perbedaan antara Dukun dengan Kiai. Kalau seumpama saya menjadi Kiai sudah pastilah saya menistakan identitas luhur nan mulia semua Kiai, baik yang masih hidup maupun yang telah wafat."



Pada titik tersebut, saya dengan optimis menawarkan diri. "Bagaimana kalau saya saja. Jika sekadar berkelakar saya bisa. Untuk syarat² yang lain kan masih bisa menyusul." Mereka diam seribu bahasa. Arkian teman kami yang merasa tidak mengantongi 3 syarat tersebut menyeletuk dengan bahasa diplomatis, "Emm K-I-A-I ya?... Si fulan ini alim, jadi dengan kapasitasnya ia pantas dipanggil "KI"; orang yang kita muliakan karena keilmuannya. Sedangkan si fulan ahli tirakat, cocoklogi saja, ia pantas disebut "KIA", menjahit sesuatu yang robek dari kita. Sedangkan ente? Cuma modal berkelakar, mbanyol, syarat paling akhir kan?. Berarti pantasnya dipanggil AI. Biar penyebutannya kamil; sempurna mungkin lebih afdal kita panggil TAI..."

Syahdan semua terbahak-bahak, saya benar-benar merasa seperti kotoran yg wajib dihina. Meski dalam benak ada keinginan membantah. Bahwa dalam sistem ilmu pengetahuan alam, tai masih bisa berguna, menjadi pupuk untuk menyuburkan tanaman. Tapi nurani saya berbisik, "Optimis pada posisi krusial seperti itu, justru malah membahayakan diri sendiri dan orang lain."

Senin, 14 Mei 2018

Refleksi Sosial

Ada yang tetap memusatkan perhatiannya terhadap nasib negara Palestina, ada yang sangat memerhatikan peristiwa biadab; teror bom yang marak hari-hari ini, ada yang memantau sikap ke sewenang-wenangan birokrasi dan sebagian oknum pemerintah, ada yang tak henti-henti mengingatkan supaya mengusut tuntas kasus penyiraman air keras terhadap Bapak Novel Baswedan, dan masih banyak lagi perhatian masyarakat terhadap peristiwa atau kasus-kasus tertentu. Pasti mereka memiliki alasan dan sesuai kadar kemampuan masing-masing.
sumber ilustrasi : https://www.vectorstock.com

Lantas mengapa masih ada yang saling tuding, saling menyalahkan?.

Si A dianggap 'anti-toleran' karena tampak tidak 'koar-koar' mengutuk (dengan kata-kata kotor). Si B dicuragai sebagai sekutu teroris lantaran berpendapat yang arahnya tidak sesuai pemberitaan media-media mainstream. Si C dicemooh sebagai hiporkit oleh sesamanya dikarenakan hanya lantang bersuara di saat saudara tidak seakidahnya menjadi korban. Si E muak, ia menyalahkan Si A, Si B, Si C; semua ia salahkan sebab ia sadar seumpama ia menasihati salah satu di antara mereka (yang pada dasarnya keras kepala) maka hanya akan memantik persoalan pelik lain.

Tapi saya yakin, setelah menyaksikan reaksi atau sikap semua lapisan masyarakat (dari pelbagai elemen) apapun agamanya; semua mengutuk keras lakuan terorisme. Walapun kadar perhatian masyarakat tak semuanya sama, saya yakin semuanya pasti merasa iba terhadap nasib korban dan keluarga korban. Semua pasti berharap dan mendoakan baik, tak lain lantaran kita adalah saudara dalam kemanusiaan. Sedangkan terorisme adalah musuh bagi kemanusian.

Dr. Abdurahman Efendi Ismail menulis nasihat tentang humanisme (kemanusiaan) dalam karangannya; kitab At-Tarbiyah Wal Adabus Syar'iyah,

"Ketika kau menyaksikan mereka (saudara kemanusiaan) tertimpa bahaya atau mengalami kejadian menyakitkan maka sudah dipastikan akan ada yang mencelanya dan turut merasa sakit atau iba. Kau berada di antara ke duanya, menengahi mereka, dan tetaplah berupaya menyatu dengan mereka. Oleh karena itu kau harus (wajib) berbuat baik untuk kebaikan dan kebahagiaan mereka, sebagaimana kau sendiri pun tak suka bila tertimpa mara bahaya."

Wallahu 'A'lam Bis Showab...