Kamis, 14 Desember 2017

Cerita Seorang Pengecut


Aku ingin bercerita kepadamu dengan caraku sendiri. Cara seorang pengecut menceritakan rasa ketakutakannya kepada seseorang yang telah membuatnya menjadi lelaki pemberani.

Aku ingin bercerita tidak seperti cara Qais yang menceritakan keberan
iannya melalui syair-syair yang ia gemakan ke atap langit hingga sampai ke sukma Laila.

Aku ingin bercerita kepadamu dengan caraku sendiri. Cara daun kering gugur yang menceritakan kepasrahannya kepada buah yang telah membuatnya menjadi berarti.

Aku ingin bercerita tidak seperti cara Yusuf Alaihissalam yang menceritakan keberaniannya melalui mukjizat yang ia tampakkan hingga sampai ke relung kalbu Zulaikha.

Aku ingin bercerita kepadamu dengan caraku sendiri, bahwa ceritaku tak mewakili cerita para pengecut serta dedaunan gugur yang telah melebur menjadi debu.

Aku ingin bercerita kepadamu tentang seorang pengecut yang suka menceritakan orang-orang pemberani. 

Senin, 04 Desember 2017

Dari Clue ke Clue



Kita telah lama saling menyembunyikan sesuatu. Dan kita juga sepakat akan membukanya dengan cara memberitahukan cluenya satu-persatu, kita demi kata, atau saksi tanpa janji. Kita akan membuka rahasia itu dengan cara tidak tergesa-gesa, seperti cara langit menampilkan pelangi yang telah ia sembunyikan selama berabad-abad.  
Bermula dari giliranku, clue pertamaku “memalukan”. Saat memberitahukan clue itu, aku tahu kau memerhatikan kedua tanganku yang kutekuk ke belakang tubuhku.  
Selanjutnya giliranmu, clue pertamamu adalah “membanggakan”. Saat memberitahukan clue itu, aku tidak menangkap ada sesuatu yang janggal pada dirimu.  
Clue kedua dan seterusnya bermunculan yang apabila disusun tentunya akan menjadi sebuah isarat dari apa yang telah kita sembunyikan selama ini.  
Giliranku, “membuat kepalaku tertunduk”. Giliranmu, “tak pernah bosan melihatnya”. Giliranku lagi, “aku selalu mencari tahu setiap hal tentangnya”. 
“Tunggu, kenapa cluemu yang berlawanan arah malah terhubung dengan clueku?,” sergahmu memastikan ucapanku. Aku menggerakkan pundakku naik-turun. 
Lalu giliranmu, “dia hampir tahu semua tentangku”. 
Giliranku lagi, “takut kepada kucing”. 
Kau tertegun mendengar ucapanku, matamu seolah menangkap sungai limbah busuk di mataku. Setelah itu kau tak melanjutkan cluemu, lalu pamit pergi begitu saja tanpa meninggalkan pesan kelanjutan cluemu. 
Setelah lama kemudian aku menemukan pesan di smartphoneku, tak kusangka. Isinya tentang kelanjutan cluemu, untuk yang terakhir kali.  
Tertulis, giliranku “Maaf, lelaki itu bukan dirimu”. 
Supaya selaras dengan kesepakatan kita, aku juga harus menuliskan clueku.  
“Siapalah lelaki jelata ini di mata seorang ratu, dibandingkan lelaki bangsawan itu”.

*fragmen fiksi