Minggu, 16 Oktober 2016

Senyuman Yang Sama Dari Bibir Berbeda


Mula-mula di kali pertama senyuman yang kulihat adalah dari bibir penghuni rumah -Bapak, Ibu, dan saudara-saudaraku. Senyuman kedua kuperoleh dari bibir tetangga, setelah itu aku memakai helm berkendara menuju tempat kerja dan tak melihat senyuman selanjutnya. Walau di jalanan kusempatkan melirik-lirik bibir pengendara motor lain tapi yang kulihat bukan senyuman, melainkan di atas kepala mereka bermunculan berbagai bentuk sungging bibir. Mungkin sepertinya pandangan mereka kepadaku juga demikian, atau mereka juga mencari-cari senyum bibirku -yang terhalang kaca helm. Sampai di tempat kerja,barulah senyuman ketiga kuperoleh, disusul senyuman-senyuman berurutan selanjutnya yang tak bisa kuhitung jumlahnya. Sulit sekali, mengalahkan kesulitan menghitung semua huruf ba' di Al-Quran, padahal sudah ada ulama yang bisa menghitungnya.

Tentang senyuman ketiga dan selanjutnya; senyuman dari bibir bos, disusul senyuman kolega-kolegaku dan para pelanggan di toko. Bila kau masih berstatus pelajar, mungkin urutan pas untuk senyuman ketiga dan selanjutnya adalah senyuman dari guru-guru dan sahabat-sahabat kelasmu. Senyuman-senyuman itu masih bermekaran tak terikat musim, tetapi kadang-kadang bisa layu di tengah gemuruh sengat panas. Senyuman-senyuman itu masih menyala; bersinar memperindah malam-malam tanpa rembulan dan bintang, tetapi kadang-kadang bisa redup di tengah keramaian dan kebisingan yang tak terjamah.

Ada banyak senyuman yang kuperoleh dan bisa kumiliki, kusimpan, dan kubungkus senyuman itu rapi-rapi seperti bingkisan kado ulang tahun. Kusimpan senyuman itu, sewaktu-waktu akan kuingat lagi atau senyuman itu mendobrak ingatanku tanpa kehendakku. Di antara senyuman yang paling kusukai -walaupun sudah lama sekali senyuman ini kudapatkan, yakni senyuman dari guru yang mengajarkan ilmu tajwid, ilmu membaca fasih dan mengetahui aturan-aturan membaca Al-Quran. Ya, guru ilmu tajwidku itu punya bibir yang menarik. Bagaimana tidak? saat mempraktekkan (melafalkan) 'Alif' saja mulutnya terbuka lebar-lebar, beliau mengukur ukuran sempurna lebarnya mulut saat melafalkan 'Alif' itu seperti kepulan satu tanganmu. Beliau fasih sekali melafalkan huruf-huruf hijaiyah dan bacaan Al-Qurannya sangat merdu didengar. Selesai membaca doa penutup membaca Al-Quran beliau selalu tersenyum kepada kami -murid-muridnya. Itulah di antara senyuman yang paling kusukai. 

Sewaktu-waktu aku penasaran, berusaha menafsiri dan mencari tahu senyuman itu, dan aku juga ingin memiliki senyuman seperti milik guru ilmu tajwidku. Apa karena beliau ahli ilmu tajwid lantas lisan dan bibirnya telah dimodifikasi bisa membentuk senyuman paling indah? sepertinya tidak. Senyuman milik ibuku yang sangat begitu indah bukan karena ibuku ahli ilmu tajwid -walau pun ia dulu pernah belajar ilmu tajwid. Ah, alasan ini mungkin kurang subjektif. Aku sibuk mencari tahu penyebab indahnya senyuman guru ilmu tajwidku hingga kesibukan itu terkupas lambat-lambat di tengah munculnya senyuman guru-guru ilmu lain, baik ilmu fardu ain dan fardu kifayah yang tak kalah indah. Di antaranya senyuman guru ilmu tauhid, ilmu sangat penting -ilmu untuk mengetahui sifat-sifat agung Tuhan dan betapa lemahnya kita -sebagai makhluk ciptaan-Nya. Senyuman guru ilmu tauhidku luhur, berkarisma. Melihat senyumannya seolah-olah aku melihat 'penduduk langit' tersenyum kepadaku. 

Aku bahagia sekali menyimpan banyak senyuman guru-guruku, pun juga senyuman sahabat-sahabatku yang menyejukkan suasana hati dan lucu. Tapi ada beberapa senyuman yang tak bisa kumiliki dan kusimpan, bahkan berdosa bila aku menyimpannya. Padahal senyuman itu sama, persis sekali tapi dari bibir yang berbeda.
sumber ilustrasi : indokuno.wordpress
Senyuman dari gadis jawa, aku tak bisa menyebut namanya bukan lantaran sebab senyumannya tak bisa kumiliki. Bagaimana mungkin aku leluasa menyebut namanya yang secara otomatis terlukis jelas wajah dan senyumannya di fikiranku, ah dosa! Senyuman gadis jawa itu awal kali kulihat di pertigaan jalan, disaksikan burung-burung elang yang hendak berpulang di langit sore, rambu-rambu lalu lintas yang jarang rusak dan pejalan kaki yang berlalu lalang, pedagang yang sibuk hendak menutup tokonya, dan para musafir yang singgah di masjid jami' untuk menunaikan salat ashar. 

Dramatis sekali saat itu, jantungku berdegup kencang. Ingin sekali rasanya kumiliki, kusimpan senyuman gadis jawa itu tetapi aku merasakan ada hal yang tidak beres. Cara memiliki dan menyimpan senyuman gadis jawa itu sangat berbeda dengan cara memiliki senyuman Ibu, guru, dan sahabatku. Tiba-tiba ada sesuatu yang mencuat dari fikiran dan hatiku, munculnya senyuman-senyuman dari orang yang berpasangan. Ada senyuman bapak-ibu, nenek-kakek, bibi-paman, kakak perempuanku-suaminya, guruku-istrinya, pemimpin negaraku-istrinya, tukang ojek langgananku-istrinya, ibu penjual martabak telor favoritku-suaminya dan masih banyak lagi. Senyuman mereka yang selalu bersama dan serasi sekali itu telah memenuhi syarat dan mematuhi aturan yang berlaku di setiap nasehat; nasehat bagi orang yang beriman kepada Tuhannya, Rasulnya, Al-Furqannya, dan hari pungkasan. Dan hingga akhirnya aku mengurungkan memiliki senyuman gadis jawa itu. Aku harus segera pulang untuk berpikir matang dalam soal ini. 


Namun, seiring waktu aku terlalu lama berpikir dan tertipu oleh pikiranku sendiri. Aku telah melewatkan banyak kesempatan memiliki senyuman gadis jawa itu. Sudah berapa kali kita bertemu di pertemuan yang direncanakan dan di pertemuan yang tidak dijanjikan.


"Aku bersama sahabatku sedang kau sendiri. Kau bersama sahabatmu sedang aku sendiri. Aku ingin bertanya kepadamu, sudikah kau bila senyumanmu hanya menjadi milikku seorang? Tetapi sayang, sebelum pertanyaan kuajukan. Kau memulai satu cerita, cerita tentang laki-laki lain yang menjanjikan sesuatu kepadamu. Melihat caramu bercerita sambil tersenyum, aku buang pertanyaanku. Aku lebih bahagia melihat senyumanmu sambil bercerita waktu itu. Sungguh sejati laki-laki itu, ia berani menjanjikan sesuatu kepada perempuan. Tidak sepertiku...


Atau barang kali aku harus menirunya, aku harus menjanjikan sesuatu kepadamu. Tetapi aku harus tahu lebih dulu, apakah yang dijanjikan laki-laki itu kepadamu. Kalaulah ia hanya menjanjikan tindakan, maka aku harus menjanjikan tindakan yang lebih hebat nan sejati daripadanya. Kalaulah ia berjanji akan bersama seumur hidupmu, maka aku harus berjanji akan selalu bersamamu baik hidup dan matiku. Kalaulah ia berjanji akan memenuhi keinginanmu, maka aku harus berjanji akan selalu memenuhi keinginan dan tidak memenuhi apa yang tidak kauinginkan.


Tetapi, kalaulah ia berjanji akan membangunkan istana megah untukmu, maka aku lebih baik tidak berjanji kepadamu. Kalaulah ia terus menerus berjanji lantaran luluh karena ayumu, maka aku lebih baik tidak berjanji kepadamu. Kalaulah ia juga berjanji semegah kerajaan dan kedudukan yang diramalkan akan abadi kepadamu, maka aku lebih baik tidak berjanji kepadamu..."


Sampai akhirnya janji laki-laki itu tak kuketahui, sebagaimana kabarmu yang lama sekali tak kudengar, pun senyumanmu kian hari ingin sekali kumiliki.

Tepatnya tanggal 19 bulan Dzulqa'dah 1414 Hijriah, di antara barisan sahabat-sahabat terbaikmu. Aku melihatmu di dalam mobil mewah, kau cantik sekali saat itu. Sahabat-sahabatmu melambaikan tangan kepadamu, kau yang berada di dalam mobil tersenyum bahagia sekali, jelas. Senyuman itu belum pernah aku lihat darimu sebelumnya. Kau cantik nan anggun sekali mengenakan busana putih dengan kerudung yang dihiasi manik-manik berkilauan. Kau lemparkan bunga mawar kepada sahabatmu, mereka pun saling berebut. Sedangkan aku masih melihatmu. Ya, aku masih melihat senyumanmu.


Sesaat kemudian tampak ada sosok laki-laki disandingmu, ia berpakaian rapi. Mengenakan jas hitam dan songkok hitam, berkalung rentetan bunga melati, gagah sekali. Ia tersenyum kepadaku aku pun membalas senyumannya. Tanpa sadar, tahu-tahu beberapa menit mengalihkankan pandanganku. Pipi merah delimamu basah, air matamu bergelimangan bagai mutiara yang dilelehkan. Keluargamu terisak haru, terutama ibu, saudara, sahabat dan bibi-bibimu.


Kau menangis, tetapi masih saja berusaha tersenyum kepada mereka. Aku tahu kau menangis, aku sangat tahu. Senyumanmu itu sama seperti senyuman orang lain, tetapi lantaran dari bibir berbeda. Aku tidak bisa memiliknya, terima kasih atas setiap senyuman yang kau berikan...