Minggu, 30 Juli 2017

Orang-orang Pendiam yang Melukai Kata-kata

Ketika sang proklamator mengumandangkan orasi kemerdekaan penuh kata-kata menyala merah darah sebagai kobaran semangat dan penghormatan terhadap pengorbanan para pahlawan serta kata-kata seputih tulang menyakinkan diri bahwa Tuhan adalah segala-galanya, Tuhan itu Maha Esa, kejujuran adalah sukma yang tak bisa dimatikan, siapa mengira di balik gema takbir dan hentak merdeka, mereka orang-orang pendiam menyusun strategi untuk memecah-belah bangsa?.

Betapa berulang-ulang khutbah persatuan di hari-hari besar dan di hari jumat serta pesan imam kepada makmum di setiap salat agar shaf lebih dirapatkan rasanya telah dikalahkan oleh diamnya orang-orang pendiam. Siapa mengira mereka adalah golongan-golongan yang sok tahu, menentukan saudara seimannya ke nereka atau ke jurang kesesatan, siapa mengira mereka melucuti keimanan perlahan-lahan lalu digantinya dengan sesuatu yang masuk akal, relatif, kebebasan, hak asasi, tanpa (kita) sadar(i) mereka telah menggiring kita untuk hidup sendiri-sendiri, membuang jauh sikap mulia saling menasihati dan bergotong-royong.

Hari ini dan yang sudah-sudah alangkah banyak ungkapan cinta kasih diluapkan kepada orang-orang yang harus dicintai dan dikasihani. Seseorang yang tak pandai merangkai kata-kata puitis tiba-tiba membuahkan puisi kamar untuk kekasihnya, seseorang yang layu kerontang tiba-tiba mekar berisi semangat menantang dunia, Tapi. Siapa mengira mereka yang dicintai dan dikasihani adalah orang-orang pendiam yang sengaja memendam kata 'iya' atau 'tidak' hingga di kemudian hari diam-diam menebaskan parang dari arah belakang, mengarahkan moncong senapan dari arah berlawanan, dan terakhir, cinta diam-diam sangatlah menyakitkan, kau mencintainya, ia diam, kau merindukannya ia juga diam, kau meminta maaf ia masih saja diam, kau ingin menemuinya (ternyata) ia diam,(-)diam telah menikah dengan kekasihnya..

mereka orang-orang pendiam yang melukai kata-kata(kita).