Selasa, 30 Mei 2017

Cerita (Serius) Yang Tidak Lucu

Setiap hari  kita hampir tak bisa lepas perkara tuding-menuding orang lain yang tidak melaksanakan ibadah dianggap busuk, sedangkan diri sendiri merasa baik karena tidak seperti orang yang dituding. Di bulan suci; ramadan pun tak bisa lepas pula dari hal ini. Tidakkah sangat irene (jangan diklik), eh ironi sekali?.
 
Saya akan sedikit bercerita terkait hal ini, dan ceritanya tidaklah benar-benar lucu. Yang terpenting sampean mau membacanya. Soal status riwayat ceritanya apakah sahih, daif, atau mardud? Halah byah!

Baik, sebelum saya memulai ceritanya saya awali dengan ijazah riwayat sanad sumber. Cerita tidak lucu ini diriwayatkan oleh saya, terinspirasi dari fakta kejadian di sekeliling kita, dan saya ijazahkan kepada pembaca lalu ke pendengar, lanjut dari pembaca ke pendengar yang lain sampai akhir...

Bila suatu saat ada yang menemukan cerita ini di-posting di jejaring sosial, blog, dll tanpa penyebutan sumber riwayatnya. Tolong, salamkan kepadanya bahwa sebaik-baiknya seorang rawi (pencerita) adalah perawi yang bersambung status riwayatnya. Agar terhindar dari hoax-hoax serta fake news yang merusak pola pikir kita.
   
Cerita ini saya tulis sebagai tanggapan terhadap pola tuding-menuding merasa lebih baik, lebih mukmin daripada saudara seiman yang lain.

Ingat, cerita ini tidak lucu. Saya harap dibaca dengan cermat dan serius karena setiap dialognya sarat makna.

***

Cerita (fiksi) dimulai...

Selepas salat tarawih para remaja kampung yang hendak bertadarus memilih duduk selonjoran di pinggir pintu masjid. Mereka bergerombol sembari curi-curi pandang menyaksikan mbak-mbak muslimah bergantian menyerahkan suguhan makanan ke pengurus takmir. Suguhan itu disediakan untuk pelaksana tadarus, anggap saja sebagai  camilan. Pak Sami’an selaku bilal tersyahdu, tersenyum menyaksikan tingkah mereka.
  
Pandangan para remaja itu kian menajam, mengarah ke satu nampan berisi gorengan ote-ote, tahu isi, dan telo goreng yang masih hangat. Uap panasnya tampak mengepul. Tak luput petis atau saus hitam di wadah mangkok serta lombok alit, rasa pedasnya sangat menyakinkan. Sangat cocok dengan pepatah jawa, “Cilik, tapi pedes, yo lombok. Geddhe, nek anyep, yo lontong”.

Ya, gorengan itulah yang mereka nanti-nantikan.

Ketika para remaja itu hendak beranjak menuju ke arah mikrofon, tiba-tiba salah satu di antara mereka sebut saja Memed, berceloteh...

“Untung tidak ada Gemblung”

Gemblung salah satu komplotan mereka yang terkenal doyan makan, serta ahli dalam urusan meniadakan makanan dan minuman mubadzir di masjid.

Celoteh Memed tampak menarik untuk dibicarakan, akhirnya mereka urung menuju mikrofon. Kembali duduk selonjoran dan membicarakan tentang kawannya yang doyan makan. Ketepatan waktu itu Gemblung tidak hadir melaksanakan jamaah salat isya dan tarawih.

Setelah agak lama mereka asyik tertawa terkekeh-kekeh sebab membicarakan aib-aib Gemblung. Tiba-tiba Gemblung datang, perutnya buncit hingga membuat lipatan sarungnya terpasang mlorot, peci hitam kecil di kepalanya miring tampak seperti secuil cincau yang tak sengaja lengkep di bagian pinggir gelas jumbo.   
Kawan-kawannya yang duduk di pintu masjid telah memasang rencana, mereka tak hanya berniat menegur Gemblung. Paling tidak ia akan dipermalukan di depan para pengurus masjid.

Memed menyambut Gemblung dengan pertanyaan.

"Blung, siapa nama imam waktu isya' tadi?"

Nafasnyaa agak terengah-engah, Gemblung duduk di dekat mereka. Ia sadar kawan-kawannya pasti telah merencanakan sesuatu yang licik. 

Dengan berwajah tak berdosa Gemblung mingkem, lalu menoleh dengan mulut yang dibuka pelan-pelan diarahkan ke kawan-kawannya. Keluarlah sendawa susulan pasca berbuka dengan bau yang tak bisa dijelaskan secara profesional dalam etika kuliner, intinya lebih mirip aroma sambal bajak yang diuleg dengan nasi basi.

“Jyancuk, bwuadeg emmen, Mblung! Coba mettune mau sebelum maghrib pas sek keadaan poso,  tak anggep wangi misik, berhubung maghribpe wes lewat, misike entek berarti iki mambu batang.” Tukas Taqim mundur lima jengkal sembari menutup hidungnya. Disusul ledak tawa kawan-kawannya. 

“Piye Mblung? Siapa nama imamnya?” Memed mengulang.

Gemblung jelas tak bisa menjawab karena tidak hadir tadi, ia lebih memilih tidur selepas berbuka. Tahu-tahu saat bangun pengeras suara di masjid mendengingkan doa salat tarawih. Ia bangun, menuju ke dapur mengisi kekosongan sebelah di perutnya. 

Gemblung tak mati akal, ia berbalik tanya.

"Sek, sek, sopo jeneng muadzin maghrib-pe?"

Untung saja salah satu di antara mereka termasuk REMAS (remaja masjid), paling tidak ia pasti tahu nama Imam dan muadzin di hari-hari ke depan.

"Pak Sami'an!", jawab kawannya.

"Salah!, kok ya soro emmen gak erro muadzin maghrib. Kalau orang tidak tahu Imam masjid di waktu isya' dikatakan tidak tarawih, berarti yang tidak tahu muadzin maghrib dikatakan tidak berpuasa. Lebih duso koe kabeh!" Ketus Gemblung tertawa ngikik.  

Kawan-kawannya pun terhenyak sebagian tertawa sinis.

"Terus sopo muadzine, Mblung?" Timpal Memed.

Dengan wajah ala santai Kim Jong-un, Gemblung menarik nafas lalu menjawab tegas,

"Radio!".

Kamis, 25 Mei 2017

Sepasang Sandal Dan Kemungkinan Setiap Makhluk

Pada akhirnya setiap wujud makhluk atau benda tak bisa lepas dari kisah asmaranya. Sebagaimana wujud sepasang sandal di pelataran asrama santri. Sejak kali ia dibuat atau diukir oleh pengrajinnya, sandal telah ditakdirkan memiliki pasangan serta kisah asmaranya.

Hingga kemudian sepasang sandal itu diapitkan, saling berdekatan dibatasi kertas kardus, dibungkus dalam satu plastik dengan nama judul kisahnya masing-masing. Yang pasti tidak menggunakan nama-nama yang sudah masyhur seperti "Ayat-Ayat Swallow", "Ketika Jepit Tertukar", atau "Ada Apa Dengan Bengkiakmu, Ning?". (Ahem😂)

Tatkala sepasang sandal itu telah dimiliki oleh tuan/puannya, barulah kisah asmaranya benar-benar dimulai, artinya tak terhenti di bagian prolog saja. 
 
sumber gambar - google

Kisah asmara sepasang sandal itu sangat dramatis meski tanpa akting atau dialog.

Adakah yang lebih menyedihkan daripada sandal yang sudah diletakkan di tempat khusus tetapi akhirnya pasanganya raib?. Tidakkah memilukan keadaan sandal yang dipasangkan bukan dengan pasangannya, lantaran kecerobohan puan/tuannya sebab kebelet ngeseng? (dari ini sudah mafhum, sebab mementingkan isi perut manusia berani berbuat zalim). Betapa getir siksaan sandal saat menyaksikan ikat pasangannya terputus lalu oleh tuan/puan dengan sikap remeh dibuangnya begitu saja. Beruntunglah jika pemiliknya adalah manusia-manusa zuhud, karena bagi mereka setiap hal yang putus tak mustahil bisa disambung. 😂

Uushi nafsi wa nafsakum bis shabri was sholawat...

Bersiaplah menghadapi kemungkinan menyakitkan yang tak bisa disangka-sangka, karena pada hakikatnya setiap makhluk tak bisa lepas dari rasa sakit.

Sandal sangat mungkin bisa tertukar, dighazab, dicuri, atau bahkan hilang. Kalau jodoh?😂

Wallahu 'A'lam Bis Showab.