Ketika sang proklamator mengumandangkan orasi kemerdekaan penuh kata-kata menyala merah darah sebagai kobaran
semangat dan penghormatan terhadap pengorbanan para pahlawan serta kata-kata
seputih tulang menyakinkan diri bahwa Tuhan adalah segala-galanya, Tuhan itu Maha Esa, kejujuran
adalah sukma yang tak bisa dimatikan, siapa mengira di balik gema takbir
dan hentak merdeka, mereka orang-orang pendiam menyusun strategi untuk
memecah-belah bangsa?.
Betapa berulang-ulang khutbah persatuan di hari-hari besar dan
di hari jumat serta pesan imam kepada makmum di setiap salat agar shaf
lebih dirapatkan rasanya telah dikalahkan oleh diamnya orang-orang pendiam.
Siapa mengira mereka adalah golongan-golongan yang sok tahu, menentukan saudara
seimannya ke nereka atau ke jurang kesesatan, siapa mengira mereka melucuti keimanan
perlahan-lahan lalu digantinya dengan sesuatu yang masuk akal, relatif,
kebebasan, hak asasi, tanpa (kita) sadar(i) mereka telah menggiring kita untuk hidup
sendiri-sendiri, membuang jauh sikap mulia saling menasihati dan bergotong-royong.
Hari ini dan yang sudah-sudah alangkah banyak ungkapan cinta
kasih diluapkan kepada orang-orang yang harus dicintai dan dikasihani.
Seseorang yang tak pandai merangkai kata-kata puitis tiba-tiba membuahkan puisi
kamar untuk kekasihnya, seseorang yang layu kerontang tiba-tiba mekar berisi
semangat menantang dunia, Tapi. Siapa mengira mereka yang dicintai dan
dikasihani adalah orang-orang pendiam yang sengaja memendam kata 'iya' atau
'tidak' hingga di kemudian hari diam-diam menebaskan parang dari arah belakang,
mengarahkan moncong senapan dari arah berlawanan, dan terakhir, cinta diam-diam
sangatlah menyakitkan, kau mencintainya, ia diam, kau merindukannya ia juga
diam, kau meminta maaf ia masih saja diam, kau ingin menemuinya (ternyata) ia
diam,(-)diam telah menikah dengan kekasihnya..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar