Minggu, 02 April 2017

Resensi Buku : Potret Pendidikan Negeri Kusam




Judul buku : Potret Pendidikan Negeri Kusam (Antologi Cerpen)
Pengarang : Tiga belas Cerpenis FLP Surabaya
Penerbit : Staina Press
Cetakan : Pertama, Desember 2014

Bermula membaca judul yang membuat raut muka saya berkerut sebentar. Kemudian melihat desain sampul depan berupa gambar wajah siswa SD rada transparan dengan sorot mata pengharapan ke suatu arah dalam mode ‘digital art’ genre Vector, di bawahnya terdapat foto lanskap deretan gedung-gedung menusuk langit. Untuk yang kedua kalinya alis saya kembali berkerut, saya mulai menduga-duga apakah buku ini akan membuka tabir kegetiran sebuah pendidikan dari kemegahan kota-kota besar, atau merujuk pada judulnya; berarti tidak hanya kota besar. Tetapi secara sudut pandang global, yakni sebuah negeri.
Lanjut melihat sampul belakang berupa kata pengantar dari dua orang spesial, pertama dari Maulana Malik Ibrahim selaku ketua FLP Surabaya, dan kedua dari Benny Arnas –Cerpenis Nasional peraih beberapa penghargaan. Setelah membaca kedua kata pengantar itu saya sedikit berani menyimpulkan buku ini bagus. Kemudian Di belakang kata pengantar, terdapat gambar  tangan, bendera merah putih, dan di bagian bawah sama seperti gambar di sampul depan. Ilustrasi di bagian sampul belakang belum bisa ‘terbaca’, lantas kedua sampul buku ini saya pentang. Dan tampaklah gambar yang mengunggah, potret agak transparan sosok siswa SD sedang memberi hormat ke Sang Merah Putih membentang di langit gedung-gedung tinggi. Dengan adanya desain sampul buku demikian, buku ini seolah-olah samudra yang di dalamnya menampakkan kerlap-kerlip permata, dan cara untuk mendapatkannya yaitu harus membaca bukunya.

Buku antologi ini berisi tiga belas cerpen yang mengusung pelbagai tema, diantarnya pendidikan, sosial, dan humanisme. Setiap cerpennya memiliki ciri khas masing-masing, ada yang dimulai dari kesederhanaan hingga dibuat spesial dan dari yang spesial hingga lebih baik lagi. Cerita-ceritanya juga menarik, ditulis oleh beberapa penulis dengan ‘mata-pena’ yang berbeda-beda. Cara menyampaikan amanatnya pun juga berbeda. Bahasa yang digunakan mudah dimengerti hingga membuat saya pribadi tak ambil pusing untuk menerka-nerka maksudnya. Dan –sebelum membaca cerpen-cerpen di dalamnya- ketika membaca beberapa kata pengantar yang ditulis oleh penulis-penulis ternama, saya semakin merasa penasaran. Akankah kata pengantar yang menyimpan harapan, doa, dukungan, dan apresiasi itu layak diterima oleh cerpen-cerpen di buku ini. Baiklah, saya buktikan sedikit faktanya dengan sedikit berbicara tentang cerpen-cerpen di buku ini.    

Cerpen Negeri Di Mana Surga Dijual Murah karya Jefri Setiawan, cerpen intelek islam yang memiliki sudut pandang luas (worldview), melawan ideologi miring yang dipuja-puja oleh kaum yang melek terhadap kefanaan. Membaca cerpen ini saya seperti membaca tulisan-tulisan mengunggah yang ditulis oleh Ust. Adian Husaini, Ketua DDII (Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia)  dan KH. Hamid Fahmi Zarkazy, Gontor.

Cerpen Emakku Satinah karya Izzul Putra, cerpen indah yang membuat saya pribadi merasa sebagai anak durhaka terhadap kedua orang tua. Cerpen ini membuka kepekaan terhadap pentingnya mematuhi dan membahagikan kedua orang (Birrul Walidain).

Cerpen Buat Kapok Malaikat karya Ibra Maulana, sebagaimana yang tertulis di bawah  judulnya (Cerpen terinspirasi dari cerpen Mereka to Tak Mungkin Menjaring Malaikat karya Danarto). Menurut saya cerpen ini adalah cerpen spiritual islam, sufisme dan mengangkat pentingnya akidah. Yang memakai alur unik serta bahasa puitis, polos, jenaka, dan nakal seperti anak-anak kecil.

Cerpen Menolak Pinangan Izrail karya Abdul Aziz Muhammad,  cerpen yang memakai alur ‘maju-mundur-maju’ (tanpa ‘cantik’, ya).  Ceritanya membuat saya begidik, menyoal kenangan-kenangan kelam yang seharusnya menjadi nasihat atau teguran untuk menjadi insan yang lebih baik.

Cerpen Duniaku, Dulu dan Sekarang karya May Khakasa, cerpen yang tak kalah menarik dari cerpen-cerpen lain. Ceritanya membuat saya iba serta lebih perhatian terhadap orang lain tanpa pandang bulu. Cerpen ini memiliki mata yang tajam memandang setiap watak karakternya.

Cerpen Di Penghujung Ujian karya Agustha Ningrum, cerpen menyala, memantulkan cahaya pada tempat-tempat pendidikan yang mungkin –saat ini- tak lagi mementingkan moral. Cerita dan pesannya dikemas apik, serta teknik ‘ending’nya sangat istimewa.

Cerpen Sepatu, Banjir dan Lomba Cerdas Cermat karya Retno Fitriyanti. Di antara semua cerpen, cerpen ini yang paling saya sukai. Entah, saya sangat mengagumi cerpen yang ditulis oleh sosok Emak-emak ‘sastrawi’ ini. Ceritanya sederhana tapi begitu kuat dari sisi penokohan dan pesan amanatnya.

Cerpen Mutiara Sampah karya Rahayu Lestari. Getir, sedih, dan iba berkecamuk membaca cerpen ini. Cerpen yang menyadarkan manusia tak seperti iblis, hewan, apalagi malaikat. Manusia adalah makhluk yang berpikir dan berperasaan.

Cerpen Mentari Di Ufuk Perbatasan karya Virly Virnia Aprilia,. Cerpen ini juga berpesan akan pentingnya belajar sejarah.

Cerpen HAMASAH karya Merlia Na. Judul cerpen menggunakan bahasa arab yang bermakna, gelora atau semangat. Terkesan begitu simpel, akan tetapi setelah membaca ceritanya saya menemukan nasihat dan pencerahan. Tentang kehati-hatian dan jati diri.

Cerpen Mesin Pencetak Sekolah karya Noevil Delta. Cerpen imajinatif yang membuka tabir ironi di balik birokrasi ‘orang-orang atas’ di setiap tatanan pendidikan. Alur ceritanya begitu memikat, serta pengunaan bahasa yang cukup bagus.

Cerpen Andin dan Sekolahnya karya Ihdina Sabili. Cerpen ini ditulis oleh penyair wanita, saya sangka ketika membacanya akan menemukan banyak kata-kata puitis yang membuat saya berpikir lebih dari tiga kali. Tapi tidak, alur cerpen ini mengalir dengan bahasa ringan. Cerpen yang berisi sarat makna peran orang tua terhadap pendidikan. Keindahan cerpen ini saya rasakan di setiap narasinya.

Terakhir cerpen Sekolah Tikus karya Ayla Putri. Cerpen penutup, dari seluruh cerpen yang ada. Saya kira sangat pas sekali cerpen ini diletakkan di bagian terakhir. Lantaran dari sekian cerpen yang ada, cerpen ini kokoh di halaman terakhir. Ceritanya seolah menanamkan bara semangat keberanian menghadapi kebatilan. Cerpen penutup yang begitu spesial.

Sungguh semua cerpen-cerpen di buku antalogi ini tak bisa dikatakan ‘sempurna’, bila diliat dari segi cerita yang mungkin saja klise, dan ada sedikit ‘typo’ kesalahan tulisan. Akan tetapi kekurangan-kekurangan itu tak sedikit pun mengurangi keindahan dari isinya. Buku ini sangat layak diapresiasi dan dibaca.
Apabila anda tertarik untuk membelinya, silakan hubungi surel : flpsuroboyo@gmail.com