Rabu, 16 April 2014

Tentang Coretanku



Assalaamu Alaikum Warahmatullahi Wabaraktuh

Bismillahirahmaanirrahim...
Beberapa tahun lalu ia bertahap belajar menulis, mulai dari mencorat-coret tembok rumah, keramik halaman, hingga di pergelangan tangan dan pahanya sendiri. Bahkan juga di setiap benda apapun yang menurutnya tepat untuk di jadikan tempat menulis, dengan keadaan tangan penuh aneka tinta berwarna ia terus menulis. Menulis apa yang ia kehendaki, meskipun hasilnya hanya berupa garis horizontal atau vertikal. Spidol hitam ia pegang erat-erat bak genggaman seorang petinju, dengan menjulurkan lidah di balik pipi lucunya, ia terus berusaha konsentrasi mengikuti pergerakan tangan kecilnya. Setelah melalui konsentrasi panjang ia memanggil Ibu dan Bapaknya yang pada saat itu berada di dekatnya, kemudian dengan bangga dan tatapan manja ia menunjukkan hasil jerih payahnya. “Ya itulah karyaku, coretan istimewa dengan harga tiada banding dan bisa mengalahkan harga setiap tulisan Bapak di buku besar pribadinya, bahkan coretanku bisa membuat Ibu bahagia hingga mencium pipiku berulang kali”. Gumamnya dalam gendongan Sang Ibu yang sedang membawanya menuju kamar mandi. :”D

Tidak lama kemudian, ia belajar menulis di madrasah TK yang masih kental menjaga norma agama. Mulai dari belajar menulis huruf alphabet dan huruf hija’iyah. Hingga pada suatu saat, ia mencoba menulis satu huruf alphabet di sebuah kolom kotak-kotak besar yang tersedia di buku pelajarannya. Dengan penuh percaya diri ia bertekad menyelesaikannya cepat dengan hasil baik, tetapi nyatanya ia tidak berhasil dan berhenti di tengah-tengah kegelisahan. Saat itu suasana kelas gaduh, semua Ibu murid-murid masuk kelas untuk menemani anak-anaknya belajar menulis.  Sedangkan ia masih sendirian, Ibunya tidak menemaninya. Melainkan hanya berdiri di depan pintu kelas, emosinya pun mulai tergoyah. Ia merasa takut tidak bisa melanjutkan tulisan dan di marahi oleh seorang guru. Dengan tatapan mata yang berkaca-kaca, ia menatap ibunya berharap ia di temani untuk menulis sebagaimana yang lain. Nyatanya tidak, Ibunya pun tetap bersikukuh berdiri di depan pintu. Ia berusaha menahan air matanya tidak mengalir, tetapi apalah daya pemandangan di sekitarnya membuatnya tak percaya diri. Hingga air matanya pun jatuh, isak tangisnya pun mulai terdengar. Ia menundukkan pandangan dan hanya bisa menangis menatap tulisannya yang belum selesai, serta merasa kecewa karena Ibunya tak mau menemaninya. Tiba-tiba seorang Ibu guru mendekati dan menanyainya, ia tak bisa menjawab. Hanya air mata sebagaimana isyarat, kekecewaan dan ketakutan yang ia rasakan. Hatinya pun berbisik, “Nanti setelah pulang sekolah aku tidak mau berteman dengan Ibu lagi”. Kemudian Ibu guru itu meraih tangan kecilnya, dan memberinya semangat dengan nada lembut. “Ayo. . . di tulis yaa, kamu bisa kok. Ini kamu sudah hampir selesai”. Ia usap air matanya, meski isak tangis masih belum reda, dan kembali menatap kearah Ibunya. Ia melihat mimik wajah ibunya seakan memberi pesan, kemudian ia meraih sebuah rasa ketenangan dan percaya diri di balik tatapan mata dan senyuman Ibunya, dan bersegara melanjutkan menulis meski tanpa di temani Ibunya. Beberapa menit kemudian setelah pelajaran menulis itu selesai dan hasil tulisan di nilai oleh Ibu guru, semua buku pun di kembalikan satu-satu dan murid di persilahkan untuk pulang.  Setelah menunggu giliran panggilan, akhirnya bukunya pun ia dapatkan. Keluar dari pintu kelas, Ibunya pun segera memuji kehebatannya barusan.  Ia merasa senang meski masih ada rasa kesal di dalam emosinya. Sesampai di rumah ia menunjukkan hasil tulisannya, Ibu dan Bapaknya pun beranjak melihatnya. Mereka berdua tersenyum melihatnya, kata mereka ia mendapat nila (+B). Ia tak peduli dengan itu, dan tetap merasa bahwa ‘Inilah tulisanku”. Meski tulisannya tak persis seperti huruf-huruf alpabet yang di contohkan Ibu Guru. “Ingatanku tentang ini membuatku tertawa”. :”D

Beberapa tahun kemudian setelah lulus dari madrasah, ia melanjutkan ke pondok pesantren salaf di kota Pasuruan atas saran Abahnya, berangkat bermodalkan sebutir ingatan dan pengalaman belajar ilmu mata pelajaran di madrasah. Ia masuk tes kelas 3 Istidadiyah dan menempuh program Istidadiyah selama satu tahun, kemudian akhirnya berhasil menaiki kelas 2 x dalam setahun. Di masa istidadiyah terdapat pelajaran Tahsinul Khot, yaitu menirukan penulisan huruf arab dengan berbagai macam aneka Khot. Di balik mata pelajaran ini terdapat berbagai macam segi, ada segi seni dam segi filsafat “tapi aku kurang begitu paham. Hehe! :D”. Acap kali setiap mata pelajaran itu nilainya selalu di bawah rata-rata, mungkin ia memang tidak berbakat dalam hal tulis menulis Khot Arab, tetapi tulisan huruf alphabetnya sama jelek juga. Bahkan banyak di antara kerabat dan temannya berkomentar lucu tentang tulisannya. Tetapi ia tidak menggubrisnya. “Ya, ya, ya... :D hingga sampai saat ini, tulisanku buruk untuk di lihat”. Lanjut lama kemudian tak terasa sudah begitu lama ia di pesantren, banyak kenalan teman juga banyak keluh kesah pengalaman. Ia memiliki teman yang tulisan pego dan arabnya sangat bagus, bahkan dia bisa menulis dengan berbagai gaya font teks aphabet ‘Sih! :D’ dan macam-macam Khot Arab. Sebut saja namanya, si Fulan dia berasal dari Grati Kota Pasuruan. Selain dia terkenal dengan seni karya tulisannya, dia juga terkenal ‘longor’. “Hingga saya pun ketularan juga XD”. Entah, di suatu malam ia merasa iri dan mulai ingin belajar menulis lagi, ya atas saran dan sedikit metode dari dia. Akhirnya tulisannya sedikit berubah, yang awalnya seperti kawat tak berujung kemudian menjadi cacing kedinginan. *LOL :D.

Tepatnya memasuki waktu pasca IMNI (Imtihan Niha’i) kelas 3 Tsanawiyah, ia sempat menulis diary. Menulis apa yang ia lalui di hari-hari itu,  dimana waktu itu penuh dengan tantangan, problem bahkan juga banyak kenangan yang mampu membuat air mata kembali berlinang :”(. Doa, harapan serta dukungan Abah, Ummi, Para Ustad dan beberapa sahabat karibnya. Entahlah, setelah ia mengakhiri tulisan diary itu, ia mulai berkeyakinan dan berusaha mencoba belajar dunia jurnal. Meski melalui buku-buku bacaan sederhana. Sejak saat itulah ia mulai belajar menulis...
    
 
Hingga beberapa tahun lalu kemudian, akhirnya setelah melewati masa tugas di akhir jenjang Tsanawiyah. Ia boyong dari pesantren, dan sempat beberapa hari masih betah di sebuah kantor majalah pesantren sebelum pulang kerumah. Ia berkumpul dengan para teman-teman, baik senior ataupun seangkatan yang memiliki pengetahuan ilmu tulis-menulis. Hingga pada suatu saat satu komputer tak terpakai, pemimpin redaksi majalah itu menyuruhnya untuk menulis. “Pakek! dan menulislah....”. kemudian ia mencoba untuk pertama kalinya menulis, tanpa rencana dan pengetahuan luas akhirnya ia menulis Esai yang berjudul ~ Ada-ada saja mulut dan telingamu. Semenjak saat itulah ia berusaha menekuni belajar dunia tulis-menulis, “Dan Alhamdulillah hingga saat ini :D”.
Itulah sepenggal cerita tentang saya, mengawali belajar dunia tulis-menulis. Meskipun tulisan saya jelek, saya tetap akan berusaha memperbaikinya. Menurut saya pribadi : “Tulisan jelek tetapi memberi Pesan dan Makna positif lebih berharga daripada tulisan bagus tetapi tak memiliki makna apa-apa”. :D

Terima kasih telah membacanya, dan terima kasihku juga kepada beberapa sahabatku yaitu ;  Habib Ridho BSAIbung, Ali Wafa  , ZainulBaidowiBadrunGhufron, Barizi, AnamAbdul Mu'inOm MaimunCak KifliAnwar Cak ZaidAnaz dan masih banyak lagi, yang telah memberi dukungan, kritikan serta saran hingga membuatku tetap terus mencoba belajar dan menekuni dunia ini. 
Saya harap di tulisan ini berbuah kebaikan. Aamiin...
Salam Pena saya : Assalaamu Alaikum dari Fakhur A Long :D    

Selasa, 15 April 2014

Fiksi Mini #22

- Hanya Isi Kepala –
“Ritual apa itu?”,
“Entahlah... aku ikuti saja” Jawabnya,
seolah-olah keyakinan itu hanyalah isi kepala.

- Iman Mulut Saja –
“Sebagaimana Syahadat yang setiap waktu kita baca!,
Manis di mulut saja, tetapi hati kita masih pahit menelannya”.
Serontak semua mulut santri membeku, mendengar dawuh Kyai.

- Tangan Tak Berakal –
 Lalu preman itu memasukkan gelang emas ke dalam kotak amal masjid,
Dan segera beranjak lari dari kejaran masa.

- Hakikat Tunarungu Majazi –
Panggilan adzan subuh di kumandangkan, Ia ambil sarung, peci dan baju koko.
Lalu ia pakai sebagai bantal, penutup mata dan telinga juga penghangat badan.

- Si Lidah Arab Bertuankan Si Hati Lalai –
‘Shodaqallaahul adzim’, ia tutup Qira’ahnya yang fasikh,
Lantas setelah adzan di kumandangkan ia keluar dari masjid,
Dan duduk di pendopo mengulur waktu sholat.

-  Kepala Kecil Bertubuh Hitam  -
Gembong segala jenis dunia hitam itu mulai berjalan mengelilingi kawasannya,
dengan berbagai bekas aroma nafsu di tubuhnya
ia menyapa siapa saja dengan ramah dan rendah hati.

- Lain Di Mulut, Lain Di Pantat –
“Alhamdulillah, kamu beli baru ya Jeng...”, 
puji syukur mulutku di depan kebahagianya.
Kemudian saat memantatinya hatiku pun mengumpat tegas.


- Cermin Kumuh Putriku –
“Apa yang kamu lihat di cermin Nak?”,
“Aku melihat diriku Bu, seperti ******, cantik dan di kenal banyak orang”.
Sepertinya cermin putriku perlu di bersihkan.
Dan kenapa mesti pelacur yang ia jadikan figur?, gumamku...