Assalaamu Alaikum Warahmatullahi Wabaraktuh
Bismillahirahmaanirrahim...
Beberapa tahun lalu ia bertahap belajar
menulis, mulai dari mencorat-coret tembok rumah, keramik halaman, hingga di pergelangan
tangan dan pahanya sendiri. Bahkan juga di setiap benda apapun yang menurutnya
tepat untuk di jadikan tempat menulis, dengan keadaan tangan penuh aneka tinta
berwarna ia terus menulis. Menulis apa yang ia kehendaki, meskipun hasilnya
hanya berupa garis horizontal atau vertikal. Spidol hitam ia pegang erat-erat
bak genggaman seorang petinju, dengan menjulurkan lidah di balik pipi lucunya,
ia terus berusaha konsentrasi mengikuti pergerakan tangan kecilnya. Setelah
melalui konsentrasi panjang ia memanggil Ibu dan Bapaknya yang pada saat itu
berada di dekatnya, kemudian dengan bangga dan tatapan manja ia menunjukkan
hasil jerih payahnya. “Ya itulah karyaku, coretan istimewa dengan harga tiada
banding dan bisa mengalahkan harga setiap tulisan Bapak di buku besar
pribadinya, bahkan coretanku bisa membuat Ibu bahagia hingga mencium pipiku
berulang kali”. Gumamnya dalam gendongan Sang Ibu yang sedang membawanya menuju kamar
mandi. :”D
Tidak lama kemudian, ia belajar menulis di
madrasah TK yang masih kental menjaga norma agama. Mulai dari belajar menulis huruf
alphabet dan huruf hija’iyah. Hingga pada suatu saat, ia mencoba menulis satu
huruf alphabet di sebuah kolom kotak-kotak besar yang tersedia di buku
pelajarannya. Dengan penuh percaya diri ia bertekad menyelesaikannya cepat
dengan hasil baik, tetapi nyatanya ia tidak berhasil dan berhenti di
tengah-tengah kegelisahan. Saat itu suasana kelas gaduh, semua Ibu murid-murid
masuk kelas untuk menemani anak-anaknya belajar menulis. Sedangkan ia masih sendirian, Ibunya tidak
menemaninya. Melainkan hanya berdiri di depan pintu kelas, emosinya pun mulai
tergoyah. Ia merasa takut tidak bisa melanjutkan tulisan dan di marahi oleh
seorang guru. Dengan tatapan mata yang berkaca-kaca, ia menatap ibunya berharap
ia di temani untuk menulis sebagaimana yang lain. Nyatanya tidak, Ibunya pun
tetap bersikukuh berdiri di depan pintu. Ia berusaha menahan air matanya tidak
mengalir, tetapi apalah daya pemandangan di sekitarnya membuatnya tak percaya
diri. Hingga air matanya pun jatuh, isak tangisnya pun mulai terdengar. Ia
menundukkan pandangan dan hanya bisa menangis menatap tulisannya yang belum
selesai, serta merasa kecewa karena Ibunya tak mau menemaninya. Tiba-tiba seorang
Ibu guru mendekati dan menanyainya, ia tak bisa menjawab. Hanya air mata
sebagaimana isyarat, kekecewaan dan ketakutan yang ia rasakan. Hatinya pun berbisik,
“Nanti setelah pulang sekolah aku tidak mau berteman dengan Ibu lagi”. Kemudian
Ibu guru itu meraih tangan kecilnya, dan memberinya semangat dengan nada lembut.
“Ayo. . . di tulis yaa, kamu bisa kok. Ini kamu sudah hampir selesai”. Ia usap
air matanya, meski isak tangis masih belum reda, dan kembali menatap kearah
Ibunya. Ia melihat mimik wajah ibunya seakan memberi pesan, kemudian ia meraih
sebuah rasa ketenangan dan percaya diri di balik tatapan mata dan senyuman
Ibunya, dan bersegara melanjutkan menulis meski tanpa di temani Ibunya.
Beberapa menit kemudian setelah pelajaran menulis itu selesai dan hasil
tulisan di nilai oleh Ibu guru, semua buku pun di kembalikan satu-satu dan
murid di persilahkan untuk pulang. Setelah
menunggu giliran panggilan, akhirnya bukunya pun ia dapatkan. Keluar dari pintu
kelas, Ibunya pun segera memuji kehebatannya barusan. Ia merasa senang meski masih ada rasa kesal di
dalam emosinya. Sesampai di rumah ia menunjukkan hasil tulisannya, Ibu dan
Bapaknya pun beranjak melihatnya. Mereka berdua tersenyum melihatnya, kata
mereka ia mendapat nila (+B). Ia tak peduli dengan itu, dan tetap merasa bahwa ‘Inilah
tulisanku”. Meski tulisannya tak persis seperti huruf-huruf alpabet yang di
contohkan Ibu Guru. “Ingatanku tentang ini membuatku tertawa”. :”D
Beberapa tahun kemudian setelah lulus dari
madrasah, ia melanjutkan ke pondok pesantren salaf di kota Pasuruan atas saran Abahnya, berangkat bermodalkan sebutir ingatan dan pengalaman belajar ilmu mata pelajaran di
madrasah. Ia masuk tes kelas 3 Istidadiyah dan menempuh program Istidadiyah
selama satu tahun, kemudian akhirnya berhasil menaiki kelas 2 x dalam setahun. Di
masa istidadiyah terdapat pelajaran Tahsinul Khot, yaitu menirukan penulisan
huruf arab dengan berbagai macam aneka Khot. Di balik mata pelajaran ini terdapat
berbagai macam segi, ada segi seni dam segi filsafat “tapi aku kurang begitu
paham. Hehe! :D”. Acap kali setiap mata pelajaran itu nilainya selalu di bawah
rata-rata, mungkin ia memang tidak berbakat dalam hal tulis menulis Khot Arab,
tetapi tulisan huruf alphabetnya sama jelek juga. Bahkan banyak di antara
kerabat dan temannya berkomentar lucu tentang tulisannya. Tetapi ia tidak
menggubrisnya. “Ya, ya, ya... :D hingga sampai saat ini, tulisanku buruk untuk
di lihat”. Lanjut lama kemudian tak terasa sudah begitu lama ia di pesantren,
banyak kenalan teman juga banyak keluh kesah pengalaman. Ia memiliki teman yang
tulisan pego dan arabnya sangat bagus, bahkan dia bisa menulis dengan berbagai
gaya font teks aphabet ‘Sih! :D’ dan macam-macam Khot Arab. Sebut saja namanya,
si Fulan dia berasal dari Grati Kota Pasuruan. Selain dia terkenal dengan seni
karya tulisannya, dia juga terkenal ‘longor’. “Hingga saya pun ketularan juga XD”.
Entah, di suatu malam ia merasa iri dan mulai ingin belajar menulis lagi, ya
atas saran dan sedikit metode dari dia. Akhirnya tulisannya sedikit berubah,
yang awalnya seperti kawat tak berujung kemudian menjadi cacing kedinginan.
*LOL :D.
Tepatnya memasuki waktu pasca IMNI
(Imtihan Niha’i) kelas 3 Tsanawiyah, ia sempat menulis diary. Menulis apa yang
ia lalui di hari-hari itu, dimana waktu
itu penuh dengan tantangan, problem bahkan juga banyak kenangan yang mampu membuat
air mata kembali berlinang :”(. Doa, harapan serta dukungan Abah, Ummi, Para
Ustad dan beberapa sahabat karibnya. Entahlah, setelah ia mengakhiri tulisan
diary itu, ia mulai berkeyakinan dan berusaha mencoba belajar dunia jurnal.
Meski melalui buku-buku bacaan sederhana. Sejak saat itulah ia mulai belajar
menulis...
Hingga beberapa tahun lalu kemudian,
akhirnya setelah melewati masa tugas di akhir jenjang Tsanawiyah. Ia boyong
dari pesantren, dan sempat beberapa hari masih betah di sebuah kantor majalah pesantren
sebelum pulang kerumah. Ia berkumpul dengan para teman-teman, baik senior
ataupun seangkatan yang memiliki pengetahuan ilmu tulis-menulis. Hingga pada
suatu saat satu komputer tak terpakai, pemimpin redaksi majalah itu menyuruhnya
untuk menulis. “Pakek! dan menulislah....”. kemudian ia mencoba untuk pertama
kalinya menulis, tanpa rencana dan pengetahuan luas akhirnya ia menulis Esai
yang berjudul ~ Ada-ada saja mulut dan telingamu. Semenjak saat itulah ia
berusaha menekuni belajar dunia tulis-menulis, “Dan Alhamdulillah hingga saat
ini :D”.
Itulah sepenggal cerita tentang saya,
mengawali belajar dunia tulis-menulis. Meskipun tulisan saya jelek, saya tetap
akan berusaha memperbaikinya. Menurut saya pribadi : “Tulisan jelek tetapi
memberi Pesan dan Makna positif lebih berharga daripada tulisan bagus tetapi tak
memiliki makna apa-apa”. :D
Terima kasih telah membacanya, dan terima kasihku juga kepada beberapa sahabatku yaitu ;
Habib Ridho BSA, Ibung, Ali Wafa , Zainul, Baidowi, Badrun, Ghufron, Barizi, Anam, Abdul Mu'in, Om Maimun, Cak Kifli, Anwar , Cak Zaid, Anaz dan masih banyak lagi, yang telah memberi dukungan, kritikan serta saran hingga membuatku tetap terus mencoba belajar dan menekuni dunia ini.
Saya harap
di tulisan ini berbuah kebaikan. Aamiin...
Salam Pena saya : Assalaamu Alaikum dari
Fakhur A Long :D
mak tadek sengkok om?
BalasHapus