Selasa, 17 Oktober 2017

(Bentuk) Ke-Plin-Plan-an Saya


Saya telah berulang kali membuka-tutup akun jejaring sosial. (salah satu) Penyebabnya bukan lain karena kebencian di linimasa –waktu itu- bagai air mata langit yang tak bisa saya hindari. Saya mencoba menutup akun Facebook karena terlalu banyak berita palsu, kabar burung yang bahkan saking banyaknya hingga tidak bisa dibedakan mana yang fakta dan palsu. Sesekali saya mengira berita palsu itu adalah fakta dan sebaliknya. Saya –yang awam- tentang ilmu pengetahuan informatika dan komunikasi tentu telah berulang kali menjadi orang yang tertipu dan mudah sekali ditipu.

Mungkin di masa teknologi digital belum secanggih seperti saat ini saya hanya ditipu oleh televisi. Saya yang masih lugu nan kanak-kanak saat itu ditipu oleh doktrin yang begitu halus menancap di kepala saya; seolah-olah susuk yang dipasang oleh orang berkepentingan pribadi ketika saya sedang tidak sadarkan diri karena dibius.

Saya dulu pernah menantang berlagak tahu, apapun bentuk beritanya pasti akan saya temukan status kebenaran dan kepalsuannya. Tetapi apa? saya tidak bisa berbuat lebih. Lagi-lagi, cara yang saya lakukan masih saja berkutat pada dunia informasi yang begitu sesak dengan kepalsuan. Hingga akhirnya membuat saya lelah dan pesimis, ciut dihadapan berita-berita palsu.
Saya sangat tidak menyukai postingan-postingan “pembenaran sendiri” yang tentu saja tak bisa lepas dari komentar dengan kata-kata berbau anyir darah. Mengajak untuk saling bermusuhan, bertikai satu sama lain. Setiap kali membaca komentar-komentar itu perasaan saya selalu diselimuti oleh asap amarah, semuanya terasa begitu menjengkelkan. Bagaimana pun bentuk ujaran kebencian itu tetap tidak boleh kita remehkan. Karena dampaknya sangat berbahaya sekali, dan sangat mudah memengaruhi orang lain.

Misalnya postingan “pembenaran sendiri” yang berisi tulisan “Memakai cadar adalah budaya (orang-orang) Arab, dan tidak dicocok diterapkan di bumi Nusantara”. Pernyataan demikian adalah pembenaran versi ‘sendiri’. Bagaimana mungkin cadar dianggapnya budaya Arab sedangkan budaya orang-orang arab sebelum Islam datang adalah pakaian tidak sopan seperti para penari yang memancing nafsu penontonnya. Lantas karena syariat Islam-lah mereka dimuliakan dan diubahlah cara hidupnya, termasuk cara berpakaian.

Banyak sekali pernyataan berbau amis seperti di atas, yang terkesan mencabut perlahan-lahan nilai keislaman dari Nusantara ini. Padahal Islam tidak bisa dipisahkan dari arab, doa ibadah wajib kita berbahasa arab, Al-Qur’an Kalamullah berbahasa arab, dan Nabi Muhammad adalah orang Arab. Lamat-lamat Arab didengungkan untuk dipisah dari kita, lalu kita disuruh untuk membenci, ada kemungkinan setelah Arab kita benci maka agama Islam pun. . . Na’udzubillah. 

Pernyataan berbau amis di atas bisa disimpulkan bersumber dari pemahaman kaum sekuler dan musuh Islam.

Jika mengingat-ingat begitu banyaknya postingan berbau amis seperti di atas rasanya saya tidak ingin menutup akun jejaring sosial, saya takut keluarga, teman, atau orang-orang terdekat saya menjadi korban tipu daya mereka. Tetapi ketika menyaksikan linimasa begitu sesak dengan berita palsu yang sesak dengan komentar-komentar berbau anyir darah, saya ingin sekali segera beranjak dari kekejaman itu.

Sembari mencari keputusan pasti atas keplin-plan diri, saya memilih terus menerus membaca tulisan Habib Umar bin Hafidz, Habib Ali Al-Jufri, Alm Syekh Said Ramadan Al-Buthi, Syekh Ali Jum’ah, Habib Syed Naquib Al-Athas (Malaysia), dan Alm Buya Hamka serta menonton video beliau-beliau di Youtube.            


   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar