Judul buku : Potret Pendidikan Negeri Kusam
(Antologi Cerpen)
Pengarang : Tiga belas Cerpenis FLP Surabaya
Penerbit : Staina Press
Cetakan : Pertama, Desember 2014
Bermula membaca judul yang membuat raut muka
saya berkerut sebentar. Kemudian melihat desain sampul depan berupa gambar
wajah siswa SD rada transparan dengan sorot mata pengharapan ke suatu arah
dalam mode ‘digital art’ genre Vector, di bawahnya
terdapat foto lanskap deretan gedung-gedung menusuk langit. Untuk yang kedua
kalinya alis saya kembali berkerut, saya mulai menduga-duga apakah buku ini
akan membuka tabir kegetiran sebuah pendidikan dari kemegahan kota-kota besar,
atau merujuk pada judulnya; berarti tidak hanya kota besar. Tetapi secara sudut
pandang global, yakni sebuah negeri.
Lanjut melihat sampul belakang berupa kata
pengantar dari dua orang spesial, pertama dari Maulana Malik Ibrahim selaku
ketua FLP Surabaya, dan kedua dari Benny Arnas –Cerpenis Nasional peraih
beberapa penghargaan. Setelah membaca kedua kata pengantar itu saya sedikit
berani menyimpulkan buku ini bagus. Kemudian Di belakang kata pengantar,
terdapat gambar tangan, bendera merah
putih, dan di bagian bawah sama seperti gambar di sampul depan. Ilustrasi di
bagian sampul belakang belum bisa ‘terbaca’, lantas kedua sampul buku ini saya
pentang. Dan tampaklah gambar yang mengunggah, potret agak transparan sosok siswa
SD sedang memberi hormat ke Sang Merah Putih membentang di langit gedung-gedung
tinggi. Dengan adanya desain sampul buku demikian, buku ini seolah-olah samudra
yang di dalamnya menampakkan kerlap-kerlip permata, dan cara untuk mendapatkannya
yaitu harus membaca bukunya.
Buku antologi ini berisi tiga belas cerpen
yang mengusung pelbagai tema, diantarnya pendidikan, sosial, dan humanisme. Setiap
cerpennya memiliki ciri khas masing-masing, ada yang dimulai dari kesederhanaan
hingga dibuat spesial dan dari yang spesial hingga lebih baik lagi.
Cerita-ceritanya juga menarik, ditulis oleh beberapa penulis dengan ‘mata-pena’
yang berbeda-beda. Cara menyampaikan amanatnya pun juga berbeda. Bahasa yang
digunakan mudah dimengerti hingga membuat saya pribadi tak ambil pusing untuk
menerka-nerka maksudnya. Dan –sebelum membaca cerpen-cerpen di dalamnya- ketika
membaca beberapa kata pengantar yang ditulis oleh penulis-penulis ternama, saya
semakin merasa penasaran. Akankah kata pengantar yang menyimpan harapan, doa,
dukungan, dan apresiasi itu layak diterima oleh cerpen-cerpen di buku ini. Baiklah,
saya buktikan sedikit faktanya dengan sedikit berbicara tentang cerpen-cerpen
di buku ini.
Cerpen Negeri Di Mana Surga Dijual Murah karya
Jefri Setiawan, cerpen intelek islam yang memiliki sudut pandang luas (worldview),
melawan ideologi miring yang dipuja-puja oleh kaum yang melek terhadap
kefanaan. Membaca cerpen ini saya seperti membaca tulisan-tulisan mengunggah
yang ditulis oleh Ust. Adian Husaini, Ketua DDII (Dewan Dakwah Islamiyah
Indonesia) dan KH. Hamid Fahmi Zarkazy,
Gontor.
Cerpen Emakku Satinah karya Izzul Putra,
cerpen indah yang membuat saya pribadi merasa sebagai anak durhaka terhadap
kedua orang tua. Cerpen ini membuka kepekaan terhadap pentingnya mematuhi dan
membahagikan kedua orang (Birrul Walidain).
Cerpen Buat Kapok Malaikat karya Ibra Maulana,
sebagaimana yang tertulis di bawah
judulnya (Cerpen terinspirasi dari cerpen Mereka to Tak Mungkin Menjaring
Malaikat karya Danarto). Menurut saya cerpen ini adalah cerpen spiritual islam,
sufisme dan mengangkat pentingnya akidah. Yang memakai alur unik serta bahasa puitis,
polos, jenaka, dan nakal seperti anak-anak kecil.
Cerpen Menolak Pinangan Izrail karya Abdul
Aziz Muhammad, cerpen yang memakai alur ‘maju-mundur-maju’
(tanpa ‘cantik’, ya). Ceritanya membuat
saya begidik, menyoal kenangan-kenangan kelam yang seharusnya menjadi nasihat
atau teguran untuk menjadi insan yang lebih baik.
Cerpen Duniaku, Dulu dan Sekarang karya May
Khakasa, cerpen yang tak kalah menarik dari cerpen-cerpen lain. Ceritanya
membuat saya iba serta lebih perhatian terhadap orang lain tanpa pandang bulu.
Cerpen ini memiliki mata yang tajam memandang setiap watak karakternya.
Cerpen Di Penghujung Ujian karya Agustha Ningrum,
cerpen menyala, memantulkan cahaya pada tempat-tempat pendidikan yang mungkin –saat
ini- tak lagi mementingkan moral. Cerita dan pesannya dikemas apik, serta
teknik ‘ending’nya sangat istimewa.
Cerpen Sepatu, Banjir dan Lomba Cerdas Cermat
karya Retno Fitriyanti. Di antara semua cerpen, cerpen ini yang paling saya
sukai. Entah, saya sangat mengagumi cerpen yang ditulis oleh sosok Emak-emak ‘sastrawi’
ini. Ceritanya sederhana tapi begitu kuat dari sisi penokohan dan pesan
amanatnya.
Cerpen Mutiara Sampah karya Rahayu Lestari.
Getir, sedih, dan iba berkecamuk membaca cerpen ini. Cerpen yang menyadarkan
manusia tak seperti iblis, hewan, apalagi malaikat. Manusia adalah makhluk yang
berpikir dan berperasaan.
Cerpen Mentari Di Ufuk Perbatasan karya Virly
Virnia Aprilia,. Cerpen ini juga berpesan akan pentingnya belajar sejarah.
Cerpen HAMASAH karya Merlia Na. Judul cerpen
menggunakan bahasa arab yang bermakna, gelora atau semangat. Terkesan begitu simpel,
akan tetapi setelah membaca ceritanya saya menemukan nasihat dan pencerahan.
Tentang kehati-hatian dan jati diri.
Cerpen Mesin Pencetak Sekolah karya Noevil
Delta. Cerpen imajinatif yang membuka tabir ironi di balik birokrasi ‘orang-orang
atas’ di setiap tatanan pendidikan. Alur ceritanya begitu memikat, serta pengunaan
bahasa yang cukup bagus.
Cerpen Andin dan Sekolahnya karya Ihdina Sabili.
Cerpen ini ditulis oleh penyair wanita, saya sangka ketika membacanya akan
menemukan banyak kata-kata puitis yang membuat saya berpikir lebih dari tiga
kali. Tapi tidak, alur cerpen ini mengalir dengan bahasa ringan. Cerpen yang
berisi sarat makna peran orang tua terhadap pendidikan. Keindahan cerpen ini
saya rasakan di setiap narasinya.
Terakhir cerpen Sekolah Tikus karya Ayla
Putri. Cerpen penutup, dari seluruh cerpen yang ada. Saya kira sangat pas
sekali cerpen ini diletakkan di bagian terakhir. Lantaran dari sekian cerpen
yang ada, cerpen ini kokoh di halaman terakhir. Ceritanya seolah menanamkan bara
semangat keberanian menghadapi kebatilan. Cerpen penutup yang begitu spesial.
Sungguh semua cerpen-cerpen di buku antalogi
ini tak bisa dikatakan ‘sempurna’, bila diliat dari segi cerita yang mungkin
saja klise, dan ada sedikit ‘typo’ kesalahan tulisan. Akan tetapi
kekurangan-kekurangan itu tak sedikit pun mengurangi keindahan dari isinya.
Buku ini sangat layak diapresiasi dan dibaca.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar