sumber ilustrasi : https://www.vectorstock.com |
Lantas mengapa masih ada yang saling tuding, saling menyalahkan?.
Si A dianggap 'anti-toleran' karena tampak tidak 'koar-koar' mengutuk (dengan kata-kata kotor). Si B dicuragai sebagai sekutu teroris lantaran berpendapat yang arahnya tidak sesuai pemberitaan media-media mainstream. Si C dicemooh sebagai hiporkit oleh sesamanya dikarenakan hanya lantang bersuara di saat saudara tidak seakidahnya menjadi korban. Si E muak, ia menyalahkan Si A, Si B, Si C; semua ia salahkan sebab ia sadar seumpama ia menasihati salah satu di antara mereka (yang pada dasarnya keras kepala) maka hanya akan memantik persoalan pelik lain.
Tapi saya yakin, setelah menyaksikan reaksi atau sikap semua lapisan masyarakat (dari pelbagai elemen) apapun agamanya; semua mengutuk keras lakuan terorisme. Walapun kadar perhatian masyarakat tak semuanya sama, saya yakin semuanya pasti merasa iba terhadap nasib korban dan keluarga korban. Semua pasti berharap dan mendoakan baik, tak lain lantaran kita adalah saudara dalam kemanusiaan. Sedangkan terorisme adalah musuh bagi kemanusian.
Dr. Abdurahman Efendi Ismail menulis nasihat tentang humanisme (kemanusiaan) dalam karangannya; kitab At-Tarbiyah Wal Adabus Syar'iyah,
"Ketika kau menyaksikan mereka (saudara kemanusiaan) tertimpa bahaya atau mengalami kejadian menyakitkan maka sudah dipastikan akan ada yang mencelanya dan turut merasa sakit atau iba. Kau berada di antara ke duanya, menengahi mereka, dan tetaplah berupaya menyatu dengan mereka. Oleh karena itu kau harus (wajib) berbuat baik untuk kebaikan dan kebahagiaan mereka, sebagaimana kau sendiri pun tak suka bila tertimpa mara bahaya."
Wallahu 'A'lam Bis Showab...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar