Saya telah berulang kali membuka-tutup akun jejaring
sosial. (salah satu) Penyebabnya bukan lain karena kebencian di linimasa –waktu
itu- bagai air mata langit yang tak bisa saya hindari. Saya mencoba menutup
akun Facebook karena terlalu banyak berita palsu, kabar burung yang bahkan saking
banyaknya hingga tidak bisa dibedakan mana yang fakta dan palsu. Sesekali saya
mengira berita palsu itu adalah fakta dan sebaliknya. Saya –yang awam- tentang
ilmu pengetahuan informatika dan komunikasi tentu telah berulang kali menjadi
orang yang tertipu dan mudah sekali ditipu.
Mungkin di masa teknologi digital belum secanggih seperti
saat ini saya hanya ditipu oleh televisi. Saya yang masih lugu nan kanak-kanak
saat itu ditipu oleh doktrin yang begitu halus menancap di kepala saya; seolah-olah
susuk yang dipasang oleh orang berkepentingan pribadi ketika saya sedang tidak
sadarkan diri karena dibius.
Saya dulu pernah menantang berlagak tahu, apapun bentuk
beritanya pasti akan saya temukan status kebenaran dan kepalsuannya. Tetapi
apa? saya tidak bisa berbuat lebih. Lagi-lagi, cara yang saya lakukan masih
saja berkutat pada dunia informasi yang begitu sesak dengan kepalsuan. Hingga
akhirnya membuat saya lelah dan pesimis, ciut dihadapan berita-berita palsu.
Saya sangat tidak menyukai postingan-postingan “pembenaran
sendiri” yang tentu saja tak bisa lepas dari komentar dengan kata-kata berbau
anyir darah. Mengajak untuk saling bermusuhan, bertikai satu sama lain. Setiap
kali membaca komentar-komentar itu perasaan saya selalu diselimuti oleh asap
amarah, semuanya terasa begitu menjengkelkan. Bagaimana pun bentuk ujaran
kebencian itu tetap tidak boleh kita remehkan. Karena dampaknya sangat
berbahaya sekali, dan sangat mudah memengaruhi orang lain.
Misalnya postingan “pembenaran sendiri” yang berisi
tulisan “Memakai cadar adalah budaya (orang-orang) Arab, dan tidak dicocok
diterapkan di bumi Nusantara”. Pernyataan demikian adalah pembenaran versi ‘sendiri’.
Bagaimana mungkin cadar dianggapnya budaya Arab sedangkan budaya orang-orang
arab sebelum Islam datang adalah pakaian tidak sopan seperti para penari yang
memancing nafsu penontonnya. Lantas karena syariat Islam-lah mereka dimuliakan
dan diubahlah cara hidupnya, termasuk cara berpakaian.
Banyak sekali pernyataan berbau amis seperti di atas,
yang terkesan mencabut perlahan-lahan nilai keislaman dari Nusantara ini.
Padahal Islam tidak bisa dipisahkan dari arab, doa ibadah wajib kita berbahasa
arab, Al-Qur’an Kalamullah berbahasa arab, dan Nabi Muhammad adalah orang Arab.
Lamat-lamat Arab didengungkan untuk dipisah dari kita, lalu kita disuruh untuk
membenci, ada kemungkinan setelah Arab kita benci maka agama Islam pun. . . Na’udzubillah.
Pernyataan berbau amis di atas bisa disimpulkan bersumber dari pemahaman kaum
sekuler dan musuh Islam.
Jika mengingat-ingat begitu banyaknya postingan berbau amis
seperti di atas rasanya saya tidak ingin menutup akun jejaring sosial, saya
takut keluarga, teman, atau orang-orang terdekat saya menjadi korban tipu daya
mereka. Tetapi ketika menyaksikan linimasa begitu sesak dengan berita palsu
yang sesak dengan komentar-komentar berbau anyir darah, saya ingin sekali
segera beranjak dari kekejaman itu.
Sembari mencari keputusan pasti atas keplin-plan diri,
saya memilih terus menerus membaca tulisan Habib Umar bin Hafidz, Habib Ali
Al-Jufri, Alm Syekh Said Ramadan Al-Buthi, Syekh Ali Jum’ah,
Habib Syed Naquib Al-Athas (Malaysia), dan Alm Buya Hamka serta menonton video
beliau-beliau di Youtube.